Tempat Dan Tanggal Lahir
Amien Rais lahir di Solo, 26 April 1944, dari sebuah keluarga yang sangat taat dalam
menjalankan agamanya. Suhud Rais, ayahnya, adalah lulusan Mu’allimin
Muhammadiyah dan semasa hidupnya bekerja sebagai pegawai kantor Departemen
Agama. Sang ibu, Sudalmiyah, adalah alumni Hogere Inlandsche Kweekschool [HIK]
Muhammadiyah, kemudian menjadi aktivis Aisyiyah dan pernah menjabat sebagai
ketuanya di Surakarta
selama dua puluh tahun.
Pendidikan Amien Rais, mulai
dari TK sampai SMA, semuanya dijalani di sekolah Muhammadiyah, di kota kelahirannya, Solo.
Menurut Amien, karena kecintaan sang ibu pada sekolah Muhammadiyah, maka
seandainya ketika itu sudah ada perguruan tinggi Muhammadiyah, pasti ibunya
akan memintanya untuk kuliah di situ. Sekolah Dasar diselesaikan tahun 1956,
kemudian SMP pada tahun 1959 dan SMA pada tahun 1962. Di samping sekolah umum,
ia juga mengikuti pendidikan agama di Pesantren Mamba’ul Ulum. Ia juga pernah
nyantri di Pesantren Al Islam.
Setelah tamat SMA, ibunya
menginginkan Amien melanjutkan studinya ke Al-Azhar, Mesir. Sementara ayahnya
lebih memilih Universitas Gajah Mada [UGM]. Amien tampaknya lebih cocok dengan
pilihan sang ayah. Ia kemudian diterima di dua fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi
dan Fisipol UGM. Ia lalu berkonsultasi dengan sang ayah, mana fakultas yang
lebih baik untuk dipilih. Sang ayah menyerahkan kembali pada Amien untuk
memilihnya. Akhirnya ia memilih Fisipol. Mungkin untuk tidak mengecewakan
harapan sang ibu, Amien juga kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri [IAIN] Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kuliah paralel ini dijalaninya sampai
munculnya larangan kuliah ganda oleh pemerintah.
Tahun 1968 Amien menyelesaikan
studinya di UGM dengan tugas akhir berjudul Mengapa Politik Luar Negeri Israel
Berorientasi Pro Barat. Ia lulus dengan nilai A. Kemudian ia melanjutkan
pendidikan pascasarjana di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat
yang diselesaikan tahun 1974 dengan gelar MA. Tesisnya adalah mengenai politik
luar negeri Anwar Sadat yang waktu itu sangat dekat dengan Moskow. Itu sebabnya
Amien juga harus mendalami masalah komunisme, Uni Soviet, dan Eropa Timur.
Minatnya yang sangat besar dalam masalah Timur Tengah tetap tumbuh.
Setelah pulang ke tanah air
sebentar, ia kembali lagi ke Amerika untuk mengikuti program doktor di University of Chicago, AS dengan mengambil bidang studi Timur
Tengah. Ia berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1981, dengan disertasi
berjudul The Moslem Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise and
Resurgence [Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan, dan
Kebangkitannya Kembali]. Penelitian untuk menyusun disertasinya dilakukan di
Mesir dalam waktu sekitar satu tahun. Selama berada di Mesir, waktunya
dimanfaatkan juga untuk menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa
Universitas Al Azhar, Kairo.
Di UGM ia mengasuh mata kuliah
Teori Politik Internasional serta Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah. Ia
juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori Sosialisme. Yang paling
menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik Internasional. Di Fakultas
Pascasarjana UGM ia dipercaya memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori
Politik.
Politik Amin Rais
Partai Amanat Nasional
mendeklarasikan pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo sebagai calon
presiden dan wapres hari Minggu 9 Mei 2004 di halaman belakang Gedong Joeang
45, Jakarta. Dwitunggal yang disebut sebagai koalisi agamis-nasionalis
dan nasionalis-agamis itu bertekad membangun kedamaian dan menuntaskan
reformasi.
Selain itu, dwitunggal ini juga
disebut sebagai pemimpin yang berani, jujur dan amanah. Pada acara deklarasi
ini, juga dibacakan garis besar platform Amien Rais Siswono yang bertajuk
'Akselerasi Kemajuan Bangsa 2004-2009.
Kiprah Prof. Dr. M. Amien Rais dalam
pentas politik nasional cukup fenomenal. Kendati Partai Amanat Nasional (PAN)
yang dipimpinnya, hanya mendapat tujuh persen suara pada Pemilu 1999, ia mampu
menjadi king maker pentas politik nasional dan menjadi Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan nyaris pula jadi presiden pada SU-MPR 1999.
Kini, mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu menjadi salah satu kandidat kuat calon
presiden yang berpeluang memenangi Pemilu Presiden 2004.
Pada awal bergulirnya reformasi,
putera bangsa kelahiran Solo, 26
April 1944, ini didaulat berbagai kalangan aktivis sebagai Bapak
Reformasi. Ia menonjol dengan berbagai aktivitas dan pernyataan-pernyataan yang
cerdas dan keras ketika itu. Memang, sejak awal bergulirnya reformasi yang
digerakkan oleh para mahasiswa, Amien Rais sudah menyatakan diri ingin
mencalonkan diri sebagai presiden. Suatu pernyataan yang tergolong amat berani
sebelum lengsernya Pak Harto.
Pencalonan dirinya menjadi presiden
itu, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa, melainkan lebih
didorong keprihatinannya atas penderitaan rakyat akibat kesalahan kepemim-pinan
nasional yang otoriter dan korup. Ia melihat, keterpurukan bangsa ini harus
diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan.
Obsesi inilah yang mendorong Guru
Besar Universitas Gajah Mada ini mendirikan PAN bersama-sama dengan para tokoh
reformis lainnya. Sebuah partai terbuka berasas Pancasila dan berbasis utama
Muhammadiyah. Namun suara yang diperoleh PAN pada Pemilu 1999 tidak cukup
signifikan untuk mengantarkannya ke kursi presiden untuk dapat mengendalikan
upaya pewujudan tujuan reformasi total.
Kini, PAN sudah lebih siap untuk
bersaing dalam Pemilu Leigslatif dan Pemilu Presiden 2004. Partai ini bertekad
untuk mengantarkan Amien Rais menjadi Presiden RI 2004-2009 melalui Pemilu
Presiden 2004. Para fungsionaris partai ini
diyakini banyak pihak mempunyai kemampuan menggalang kekuatan beraliansi dengan
partai-partai lain untuk memenangi Pemilu Presiden 2004 itu.
PAN dinilai banyak kalangan
sebagai partai masa depan dan reformis yang memiliki ‘keunikan’ dibanding
beberapa partai lain. Partai ini adalah partai terbuka (kebangsaan) tetapi
berkompeten mengatasnamakan (menyuarakan) aspirasi Islam. Suatu partai yang
dinilai sangat ideal untuk Indonesia
masa depan.
Sementara, Amien Rais tampak
tampil sebagai personifikasi dari PAN. Ia memiliki ‘keunikan’ serupa dengan
partai yang didirikan dan dipimpinnya ini. Ia seorang tokoh berjiwa kebangsaan
yang berlatarbelakang dan memiliki kedalaman religi Islam yang taat. Ia seorang
cendekiawan muslim yang berjiwa kebangsaan. Seorang yang sejak kecil diasuh
dalam keluarga Muhammadiyah yang taat. Seorang tokoh yang berkompeten hadir
dalam eksisistensi kebangsaan sekaligus kompeten dalam eksistensi keislaman.
Sehingga pantas saja ia dijagokan sebagai calon presiden terkuat untuk bersaing
dengan calon-calon presiden lainnya.
Kepiawiannya berpolitik juga sudah
terbukti. Kendati partai yang dipimpinnya bukan pemenang Pemilu 1999, tapi
peranannya dalam pentas politik nasional sangat menonjol. Sehingga ia pantas
digelari sebagai King Maker Pentas Politik Nasional Kecerdasannya menggalang partai-partai berbasis Islam
membentuk Poros Tengah, suatu bukti kepiawiaannya berpolitik. Pembentukan Poros
Tengah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan perpecahan
bangsa, sebagai akibat kerasnya persaingan perebutan jabatan presiden antara BJ
Habibie (Partai Golkar) dengan Megawati Sukarnoputri (PDIP).
Dan, memang Poros Tengah secara gemilang
berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Amien Rais
tampak berperan sebagai play maker bahkan king maker dalam berbagai manuver
politik Poros Tengah yang berpengaruh luas dalam pentas politik nasional. Ia
jauh lebih berperan dari pimpinan partai politik (PDIP, Partai Golkar, PPP dan
PKB) yang meraih suara lebih besar dibanding PAN pada Pemilu 1999.
Salah satu manuver politik Amien
Rais (dengan mengangkat bendera Poros Tengah) yang dinilai banyak orang sangat
brilian adalah pernyataannya menjagokan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai
calon presiden. Manuver ini berhasil melemahkan kekuatan Megawati, sebagai
calon kuat presiden ketika itu, karena berhasil menarik PKB dari koalisinya
dengan PDIP. Tetapi juga sekaligus melemahkan kekuatan BJ Habibie, yang
sebenarnya tidak diinginkan beberapa elit politik partai berbasis Islam yang
tergabung dalam Poros Tengah, seperti PPP dan PBB.
Bahkan, justeru BJ Habibie yang
terlebih dahulu -- secara tidak langsung -- terkena dampak manuver politik
Poros Tengah. Laporan pertangungjawaban Habibie ditolak SU-MPR 1999, yang
memaksanya secara etika politik mengurungkan pencalonan presiden.
Mundurnya BJ Habibie membuka peluang kepada Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, dan Yusril Ihza Mahendra ikut dalam bursa calon presiden. Dalam pertemuan di kediaman BJ Habibie, pada malam setelah LPJ-nya ditolak MPR, nama keempat pemimpin partai ini dibahas sebagai calon presiden pengganti BJ Habibie. Dan, terakhir Amien Rais yang lebih diunggulkan.
Mundurnya BJ Habibie membuka peluang kepada Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, dan Yusril Ihza Mahendra ikut dalam bursa calon presiden. Dalam pertemuan di kediaman BJ Habibie, pada malam setelah LPJ-nya ditolak MPR, nama keempat pemimpin partai ini dibahas sebagai calon presiden pengganti BJ Habibie. Dan, terakhir Amien Rais yang lebih diunggulkan.
Hampir saja Amien Rais resmi menjadi
calon presiden yang dijagokan Poros Tengah dan Golkar. Tetapi Amien Rais tidak
mau gegabah. Kendati peluangnya menjadi calon kuat presiden telah terbuka, ia
ingin melakukannya dengan lebih elegan Ia
ingin berbicara lebih dulu dengan Gus Dur. Ia butuh dukungan Gus Dur, sama
seperti ia mengalah-kan Matori Abdul Jalil untuk merebut jabatan Ketua MPR.
Apalagi Amien Rais telah secara terbuka menyatakan bahwa ia dan Poros Tengah
akan mencalonkan Gus Dur menjadi presiden. Sehingga betapa pun kuatnya dorongan
agar ia men-jadi presiden, ia tidak mau gegabah. Ia punya etika dan moral
politik.
Maka ketika Gus Dur telah mendahului
secara resmi dicalonkan PKB untuk merebut kursi presiden, Amien Rais tidak mau
bersaing mencalonkan diri. Ia dan Poros Tengah mendukung pencalonan Gus Dur.
Sehingga jadilah Gus Dur, dengan kesehatan jasmani yang sudah terganggu,
terpilih menjabat presiden menga-lahkan Megawati Sukarnoputri pemimpin partai
pemenang Pemilu (35%).
Poros Tengah yang dimotori Amien Rais
berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Poros Tengah
berhasil meredam kemungkinan terjadinya kericuhan antara dua kekuatan pendukung
Megawati dengan BJ Habibie, yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.
Poros Tengah berhasil mengantarkan KH Abdurrahman Wahid ke singgasana presiden.
Kendati Abdurrahman Wahid dalam banyak hal sering berbeda pendapat dengan
prinsip yang dianut para elit politik Poros Tengah.
Itu semua tidak terlepas dari
kepiawian Amien Rais. Dengan hanya mendapat tujuh persen suara pada pemilu
1999, Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya mampu mewarnai peta politik
setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Tidak sedikit pujian yang kemudian
dialamatkan kepadanya.
Menanggapi puji-pujian ini ia
sendiri hanya mengatakan, “Apa yang saya lakukan itu semata-mata untuk
kepentingan bangsa dan negara tercinta. Saat itu bangsa ini berada di ambang
kehancuran. Untuk mencegahnya maka ditawar-kan Poros Tengah sebagai alternatif.
Alhamdulilah, tawaran itu mendapat sambutan cukup baik dari sebagian besar
kalangan,” katanya.
Itulah Amien Rais. Ia piawai dalam
memanfaatkan situasi. Canggih dalam menciptakan peluang, bahkan mampu
memaksimalkan sumber daya yang ada, meskipun kecil, untuk meraih hasil yang
jauh lebih besar.
Hubungan Amien Rais dan Poros Tengah
dengan Gus Dur, pada awal pemerintahan Gus Dur, terkesan sangat baik. Amien
Rais bahkan merupakan satu dari empat orang yang dimintai tolong oleh Gus Dur
untuk menyusun kabinetnya, yang sering disebut sebagai kabinet yang paling
kompromistis dalam sejarah Indonesia.
Tetapi sayang, seiring berjalannya
waktu, hubungan antara Gus Dur dan Amien Rais merenggang. Kekuatan Poros Tengah
yang dulu mendukung Gus Dur, mulai merasa tak dihargai. Gus Dur cepat lupa
kepada mereka yang memungkinkannya jadi presiden. Gus Dur kembali dalam
habitatnya, dan sering kontroversial.
Keretakan makin mencuat terutama
setelah Gus Dur memecat Hamzah Haz dari jabatan Menko Kesra. Poros Tengah
merasa dilukai. Poros Tengah berbalik arah menggalang kekuatan dengan PDIP dan
Golkar yang juga sudah merasa dilecehkan Gus Dur. Akhirnya, pada Juli 2001 Gus
Dur pun diturunkan dari kursi presiden dan Megawati naik menggantikannya. Dalam
proses ini, Amien Rais juga memain-kan peranan yang cukup besar.
Karir politik Amien Rais, mulai
mencuat setelah semasa rezim Orde Baru ia berkesempatan memimpin Muhammadiyah
(1995-2000). Kesem-patan itu diperoleh setelah ia menjabat Wakil Ketua
Muhammadi-yah dan Asisten Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
1991-1995. Kemudian menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI.
Ia mulai secara terbuka
berseberangan dengan Soeharto, setelah Soeharto mencoret namanya dari daftar
calon Anggota MPR 1997 bersama Adi Sasono yang diajukan oleh BJ Habibie. Sejak
itu, ia me-nunjukkan kualitas yang sesungguh-nya. Bahwa ia bukan orang
karbitan. Ia punya kemampuan untuk menjadi pemimpin nasional.
Seiring bergulirnya reformasi, ia
pun sering mengeluarkan komentar-komentar kritis kepada Soeharto. Sehingga
doktor ilmu politik ini juga berperan besar seputar proses reformasi yang
menjatuhkan kekuasaan presiden kedua Republik Indonesia itu. Salah seorang tokoh pendeklarasi
ICMI ini bersatu dengan mahasiswa menuntut turunnya Soeharto dari singgasana
yang telah dinikmatinya selama 32 tahun. Setelah Soeharto jatuh, Amien Rais
bahkan sempat seperti alergi menyebut nama panggilan Pak Harto. Ia selalu
menyebut Soeharto tanpa embel-embel Pak, sebagaimana lazimnya Suharto
dipanggil. Kendati untuk hal ini, ia dianggap beberapa orang terlalu emosional.
Bukan saja manuver politiknya yang
menarik dan seringkali berhasil mencapai konsensus, tetapi juga ia menjadi
tokoh politik yang relatif bersih dari gosip kotor. Hanya pernah satu kali ia
digosipkan oleh orang tertentu sebagai orang yang membuat terpidana Zarima hamil.
Tetapi tuduhan itu dibantah keras. Publik pun tidak mudah percaya atas gosip
murahan itu. Zarima, si ratu ekstasi pun angkat bicara bahwa ia tidak pernah
berhubungan dengan Amien Rais.
Ketika gosip ini digulirkan,
isterinya Kusnasriyati Sri Rahayu, menunjukkan kualitas pribadinya sebagai
seorang ibu yang bijak. Ia tak mudah diterpa gasip yang diyakini digulirkan
orang tak bertanggung jawab itu.
Apresiasi publik semakin meningkat
kepada tokoh yang memiliki integritas diri yang kuat dan utuh ini. Salah satu,
atas sumbangan dan kepiawian Amien di bidang sosial-politik, masyarakat adat
Banuhampu, Padang Luar, Bukittinggi, Sumatera Barat, menganugerahkan gelar
“Tuanku Panghulu Alam Nan Sati” yang artinya lebih kurang Pemimpin Alam yang
Sakti. Buat Amien, gelar Tuanku Panghulu Alam Nan Sati, itu merupakan anugerah
besar. Ketika menyampaikan pidato sam-butan, Ketua Umum PAN itu merasa akan
dapat berdiri sejajar dengan raja-raja di Jogjakarta dan Solo.
“Di Jogja ada dua raja, Hamengku
Buwono dan Paku Alam. Di Solo ada Paku Buwono dan Mangkunegara. Jadi, kalau
saya nanti kembali ke Jogya atau Solo, saya juga sudah punya gelar. Tidak
sembarang orang bisa terima gelar ini,” kata Amien Rais menyambut penghargaan
itu.
Gelar itu diberikan kepada Amien
karena banyak rakyat Minangkabau bersimpati atas kepemimpinannya selama ini. Di
samping tentu saja karena PAN yang dipimpinnya sudah dikenal masyarakat
Sumatera Barat. Bahkan, partai itu mampu meng-ungguli PDI-P dan Partai Golkar
di Padang, ibu kota
Sumatera Barat.
Gerakan Dan Organisasi
Sebelum berkecimpung dalam dunia
politik praktis, Amien Rais mengabdikan dirinya sebagai Guru Besar di
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Di UGM, ia
mengasuh mata kuliah Teori Politik Internasional serta Sejarah dan Diplomasi di
Timur Tengah. Ia juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori Sosialisme.
Yang paling menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik Internasional. Di
Fakultas Pascasarjana UGM ia dipercaya memegang mata kuliah Teori Revolusi dan
Teori Politik.
‘Selain menjabat Ketua Umum DPP
Muhammadiyah, ia juga mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK],
suatu lembaga pengkajian dan penelitian di bawah yayasan Mulia Bangsa
Yogyakarta. Salah satu raison d’etre kelahiran PPSK adalah keprihatinan masih
terbatasnya hasil-hasil pengkajian yang menyangkut masalah-masalah strategis
dan kebijakan yang berorientasi pada masyarakat lemah.
Lembaga pengkajian ini diharapkan
dapat memberikan konstribusi pemikiran yang meliputi: Pertama, identifikasi
permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang
kehidupan. Kedua, analisa yang akurat mengenai berbagai kecenderungan global di
bidang sosial-budaya, agama, ekonomi, politik dan iptek serta dampaknya pada
bangsa Indonesia.
Ketiga, usulan pemecahan terhadap berbagai persoalan bangsa berdasarkan telaah
strategis dan kebijakan yang realistis dan matang. Berbagai produk pemikirannya
dipublikasikan lewat majalah Prospektif, yang terbit tiga bulan sekali.
PPSK ini memiliki peran besar
dalam membidani lahirnya ICMI. Di kantor PPSK inilah pertama kali konsep ICMI
digodok, kemudian dibawa ke Wisma Muhammadiyah di Tawangmangu, Solo, untuk
disempurnakan. Setelah itu baru dibawa ke Malang.
Sejumlah tokoh penting bergabung di lembaga ini, di antaranya: Moeljoto Djojomartono, Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo, Umar Anggara Jenie, Ichlasul Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, A. Syafi’i Maarif, dan Amien Rais yang dipercaya untuk memimpinnya.
Sejumlah tokoh penting bergabung di lembaga ini, di antaranya: Moeljoto Djojomartono, Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo, Umar Anggara Jenie, Ichlasul Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, A. Syafi’i Maarif, dan Amien Rais yang dipercaya untuk memimpinnya.
Masyarakat ilmiah mengenal dan
sangat memperhitungkan lembaga ini, selain karena produk-produk pemikirannya,
juga karena kredibilitas keilmuan dan reputasi tokoh-tokohnya. Namun masyarakat
luas baru mengetahuinya setelah terjadinya dua peristiwa yakni meninggalnya Dr.
Soedjatmoko, saat berceramah di hadapan teman-temannya di kantor PPSK, sehingga
hampir semua media massa di tanah air memberitakan peristiwa kematiannya; dan
pertemuan antara Arifin Panigoro dan kawan-kawan dengan kelompok PPSK yang
diselenggarakan di Hotel Radison, Yogyakarta, 5 Februari 1998.
Pertemuan ini kemudian dikenal
dengan istilah “kasus Radison” dan menjadi polemik panjang yang mewarnai media massa waktu itu. Karena
rezim Soeharto menuduh pertemuan ini sebagai upaya “makar” terhadap pemerintah
Orde Baru. Sebetulnya acara tersebut merupakan acara rutin dan bersifat
akademis dengan tema reformasi yang meliputi reformasi politik, reformasi
ekonomi, dan reformasi hukum. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu
sempat dimintai keterangan oleh pihak berwajib, bahkan Arifin Panigoro sempat menjadi
tersangka.
Sejak belia, mantan Ketua Dewan
Pakar ICMI ini sudah terlibat dalam berbagai gerakan. Kecintaannya pada
organisasi diawali dari keterlibatannya di pandu Hizbul Wathon. Ia dipercaya
oleh teman-temannya untuk memimpin sebuah regu yang terdiri dari tujuh orang
yang diberi nama regu Rajawali. Regu yang dipimpinnya selalu memenangkan
berbagai perlombaan, seperti lomba tali-temali, morse, membuat jembatan, sampai
pada lomba masak-memasak.
Di sinilah Amien kecil mulai
menyadari kekuatan kebersamaan dan makna kepemimpinan. Ketika menjadi
mahasiswa, ia termasuk salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
[IMM]. Ia juga pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah
dipercaya untuk menduduki jabatan sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam
[LDMI] HMI Yogyakarta.
Di samping kegandrungannya
berorganisasi, ia juga sudah aktif menulis artikel sejak belia. Ketika
mahasiswa, ia menjadi penulis kolom yang tajam dan produktif. Sehingga ia
pernah dianugerahi Zainal Zakse Award oleh tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan Harian Kami di Jakarta, koran
mahasiswa yang legendaris di awal Orde Baru.
Studi Kritis Atas Pemikiran Amin Rais
Bila dilihat dari kisah hidup Amin Rais maka akan timbul satu kesan
bahwa, Amin Rais adalah sosok manusia
yang sangat luar biasa. Hidup diligkungan yang sangat agamis,
berpendidikan tinggi dan seorang yang sangat piawai dalam kancah perpolitikan
nasional. Namun perlu diperhatikan lagi, bahwa ada beberapa hal dari sisi
kehidupan Amin Rais yang perlu untuk mendapat perhatian dan koreksi secara
mendalam. Berikut ini akan dibahas tentang kekeliruan yang dilakukan oleh Amin
Rais:
Koreksi Pertama: PAN Di Mata Amin Rais
Amin Rais, Ketuan Umum PAN pernah
berkata, "Partai ini merupakan manusia Indonesia yang berasal dari
berbagai keyakian, pemikian, latar belakang etnis, suku, agama, dan gender,
juga menganut prinsip non-sektarian dan non-diskriminatif." (Majalah
Ummat, 24 Agustus 1998).
Bila dilihat dari pernyataan yang
diberikan oleh Amin Rais tersebut, bisa diambil beberapa kesimpulan, yang
intinya adalah bawah Amin Rais akan memberikan kesempatan kepada orang-orang
non muslim untuk ikut bergabung dengan partainya. Sehingga, bagi orang-orang non muslim akan
mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin umat, seperi; lurah, camat,
bupati, gubernur, anggota DPR, dll. Bila dilihat dari hukum Islam, pemikiran
Amin Rais in jelas menyeliihi syariat Islam. Sebab dalam Islam seorang muslim
tidak boleh untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin). Allah
berfirman dalam al Qur`an :
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu);sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain.Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
makasesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. SesungguhnyaAllah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Maidah:51)
Allah juga berfirman:
"Janganlah orang-orang mu'min
mengambil orang-orang kafirmenjadi wali [192] dengan meninggalkan orang-orang
mu'min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia daripertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diridari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada
Allah kembali (mu)." (QS. Ali Imron: 28).
Bila Amin Rais dalam membenarkan
tindakannya tersebut beralasan dengan kisah Nabi saw yang bekerja sama dengan
orang-orang kafir atas dasar piagam madinah, maka hal itu sangat keliru. Nabi
saw tidak pernahmembntuk jamaah perjuangan untuk menegakkan kebenaran (Islam)
bersama orang kafir. Apalagi menyerahkan konsep-konsep hukum kepada orang-orang
kafir. Piagam Madinah itu merupakan perjanjian bersama (bukan kerja sama
perjuangan), kemudian setelah orang-orang yahudi melanggar perjanjian itu, Nabi saw bersama
umat Islam mengusir dan memerangi tiga suku yahudi (yaitu Bani Nadhir, Bani
Qoinuqo` dan Bani Quraidhoh) secara keseluruhan (ahmad Jaiz, tt:12). Hal ini
berbeda dengan Amin Rais yang tidak pernah mengusir dan menyerang orang-orang kafir trsebut meskipun hanya
secara konsep pemikiran.
Seharusnya, bagi seorang muslim,
jika memang partai itu merupakan salah satu alat untuk memperjuangkan Islam.
Maka tidak boleh untuk ada kompromi dengan orang-orang akfir dalam tataran itu.
Sebab Nabi saw tidak pernah berkomplot dengan orang-orang kafir Mekkah ataupun
Madinah dalam suatu kelompok perjuangan.
Koreksi Kedua:
PAN Tidak Hanya Berorisntasi Pada Islam Saja
Harian Rapublika 19 Agustus 1998 menulis:
"Kalau PAN hanya berorientasi pada Islam, sebagaimana yang selama ini
ditekuni oleh muhammadiyah, Amin yakin bahwa wajah Indonesia pasti akan tetap seperti
dahulu kala, yaitu di era rezim Suharto. Tapi kalau berfiir lain, artinya tidak
hanya berwajah Islam, tapi out-inclusif, jelas akan menjadi wajah bari bagi Indonseia."
Jika benar ungkapan tersebut dari
Amin Rais, maka sungguh keliru apa yang dipahami oleh Amin Rais tentang Islam
dan konsepnya dalam menata bumi. Amin Rais menilai, bahwa jika partai Islam
(hukum Islam) menguasi suatu masyarakat, maka akan menjadi pertanda bahwa kehancuran
akan menimpa masyarakat tersebut. Sebaliknya, jika konsep barat diterapkan pada
suatu masyarakat maka kemakmuran akan mereka dapatkan tanpa ada keraguan sama
sekali!!
Tidak pernah dijumpai di belahan
bumi ini, bahwa masyarakat menjadi terhina dan terjajah hak-haknya jika
dikuasai oleh hukum Islam. Bahkan sebaliknya, sejarah telah membuktikan, uamt
manusia menjadi hina dan jauh dari rahmat Allah ketika hukum kafir telah
mengatur mereka. Hak-hak yang seharusnya diberikan oleh kaum minoritas
(terutama kaum muslimin) tidak pernah mereka dapatkan, namun justru penghinaan
dan siksaan yang mereka dapatkan. Sehingga dari sini bisa dilihat bagaimana
sebenarnya sosok Amin Rais yang sebenarnya.
Koreksi Ketiga:
Partai Polotik Bukan Sesuatu Yang Sakral
Amin Rais berkata, "Saya melihat bahwa partai politik bukan sesuatu
yang sakral seperti halnya sholat di masjid".
Secara sekilas, apa yang diucapkan
oleh Amin Rais tidak-lah keliru atau menyimpang dari kaidah-kaidah hukum Islam.
Namun sebenarnya, bila diihat lebih seksama, Amin Rais ingin mengatakan bahwa,
politik itu harus dipisahkan dari nilai-nilai Islam. Sebab `politik
bukan-lah sholat dan partai tidak sama dengan sholat !`
Konsep yang dibangun oleh Amin Rais ini adalah bibit dari munculnya
prilaku sekuler yang selalu ingin memisahkan antara nilai-nilai agama dari
dunia politik. Padahal Islam bersifat universal bagi kehidupan manusia di alam
ini. Islam tidak hanya ada dalam hukum pernikahan. Islam tidak hanya ada dalam
khutbah-khutbah jum`at. Islam tidak hanya ada dalam masjid. Islam adalah rahmatan
lil `alamin, Islam mengatur semua sisi dari kehidupan manusia.
Disarikan dari:
·
Tokoh Indonesia Dot.Com
·
Ahmad Ja`iz,"
kekeliruan logika Amin Rais". Darul
falah. 1419 H. Cet. Ke-I
0 Response to "Amin Rais"
Posting Komentar